03.09.20 Serpihan rasa

Semalam, aku menjadi seseorang yang entah di masa lalu atau masa sekarang. Menyusuri jalanan yang remang di suatu tempat. Seperti melompat ke sebuah peristiwa yang aku sendiri tidak mengerti alurnya. Tapi hati dan pikiranku bergitu menginginkan akan suatu peristiwa apa yang ada di depan. Motorku melewati jalanan aspal yang situasinya temaram. Kalo di pagi hari atau siang, kemungkinan tampak pemandangan alam yang sangat indah, dimana di sepanjang jalan banyak terdapat pepohonan yang rindang. Dan hamparan tanah lapang yang luas dominan dengan warna hijau karena daun-daunan ada di mana-mana.

Di tengah perjalanan, dari jauh aku melihat seseorang berjalan kaki seorang diri, dari sosoknya aku mengenali dia, bahkan hatiku pun mengenalinya dengan perubahan detak jantungku seperti tidak terkontrol akan rasa suka cita.
Aku memperlambat laju motorku dan berhenti di samping orang itu. Seorang wanita muda seumuran denganku. Sahabatku, temanku, seseorang yang membuatku sangat bahagia tanpa sebab ketika ada dan mendengar namanya.
Aku menyapa dia dan bertanya keheranan, apa yang sedang dia lakukan di jalan yang sepi ini? Mau menuju kemana? Dia bilang mau menuju ke tempat dimana dia ada janjian ketemu dengan teman-temannya. Aku menawarkan diri untuk mengantarnya.
Dalam hati, apakah mimpiku naik motor ini untuk menemani dia? Aku mengikuti saja alurnya dan mengajak dia naik ke motorku.
Di sepanjang perjalanan kita tidak banyak bicara, hanya diam dan menikmati suasana. Terasa tubuh dia bersentuhan dengan punggungku seakan kulit kita banyak berbicara tentang segala hal yang membuat kita bahagia dalam diam.

Dia semakin mempererat dekapan tangannya ke pinggangku, seakan ingin meluapkan semua rasa tidak dengan kata-kata. Aku tersenyum kecil dan melihat sekilas dirinya. Aku tahu ini hanya sebuah mimpi, tapi aku mengikuti semua alurnya meski sedikit ada rasa bersalah karena menempatkan dia di situasi yang aku suka, dia juga.
Sepertinya dia juga menikmati situasi diantara kita berdua. Semakin aku tenggelam dalam ramainya pikiranku, semakin dia mempererat tangannya. Dan nafasnya terasa sangat halus mengusap pundakku. Aku merasakan kepalanya bersandar di leher belakangku, seakan ingin mendengar apa yang sedang aku pikirkan.
Aku menahan nafas, takut kalo dia benar-benar bisa mendengarkan isi kepalaku. Sepertinya dia menyadari hal ini. Dia kembali mempererat tangannya di pinggangku dan memperbaiki posisi duduknya agar sejajar denganku. Dengan begitu, aku bisa merasakan ujung hidungnya menyentuh leher belakangku dan nafas lembutnya seakan berbicara, kamu sedang memikirkan apa?
Aku bahagia, ucapku dalam hati. Aku bahagia bertemu denganmu dan bisa berjalan berdua denganmu seperti ini.

Kita sampai di pertigaan jalan. Aku berhenti di ujung jalan antara jalan ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya tujuanku ke jalan arah kanan. Aku bertanya ke dia, kamu mau kemana? Arah jalan di depan bercabang. Dia bilang kalo arah tujuannya dia jalan ke kiri dan dia ga di antar juga gapapa, bisa jalan kaki. Aku jelas menolak ide dia, aku bisa menunda pergi ke tujuanku untuk mengantarkan dia dulu baru kembali ke pertigaan jalan ini. Akhirnya aku melanjutkan perjalananku belok ke kiri. Tidak beberapa lama, sampailah aku ke tempat yang dia tuju. Di sana ternyata sudah di tunggu beberapa teman dan keluarga dia. Duduk di tempat terbuka, mengobrol dan bersenda gurau. Dia mengajakku untuk bergabung sebentar, dan aku menikmati situasi itu, melihat dia tertawa dan tersenyum, benar-benar sangat jelas nyata di depanku. Aku melihat dia bahagia. Sesekali dia melirik ke aku dan tersenyum tipis, aku tersenyum membalasnya. Aku juga bahagia melihatmu bahagia.

(Terima kasih telah memberiku rasa bahagia, jauh-jauh kamu datang dari sana. Doaku juga menyertaimu).

Comments

Popular Posts