penggalan kisah

--> -->
Dimana aku berdiri sekarang ini?
kali ini cerita apa yang harus aku jalani dan ikuti alurnya?
apakah aku harus melihat dan merasakan semua cerita yang datang di jalurku?
meski aku muncul hanya sepersekian menit dalam hitungan scene sebuah film?
sebagai pemain figuran yang tidak berkarakter kompleks, seperti orang-orang perfilman nilai dari segi karakter pemain.

Sebagai penghantar sebuah cerita yang nantinya akan di estafetkan ke pemeran utama yang mempunyai karakter kompleks.
haruskah aku tertawa dengan definisi yang sudah disematkan ini?

Masih kuingat, waktu kuliah dulu, mata kuliah tentang kasusastraan dan karya sastra, perbedaan dari sastra lama dan sastra baru atau modern. karakteristik2 yang dimunculkan dalam masing2 pemeran, kompleks, tidak kompleks, antagonis, protagonis. pemeran utama biasanya berkarakter kompleks dan cenderung protagonis. pemeran antagonis cenderung berkebalikan karakter dari protagonis.

Aku merasa jenuh dan monoton dengan deskripsi dari penilaian tentang semua karakteristik itu. aku selalu berjalan berlawanan dengan apa yang di ajarkan di depan kelas. apa yang tidak, aku berkata iya, apa yang iya aku berkata tidak. aku lebih suka berdiri di minoritas daripada mayor. mungkin itu sikap protesku terhadap diriku sendiri yang tidak diperbolehkan oleh ortu untuk masuk kejurusan sastra dan mereka lebih suka aku masuk ke jurusan kependidikan. (sepertinya itu tidak beralasan),

karena aku sendiri ingin tahu lebih jauh n luas dari apa yang sudah ada di buku panduan dan apa yang di uraikan didepan kelas.

aku merasa tidak seperti itu.

Hal yang tidak mungkin akan menjadi mungkin dalam suatu alur cerita yang dibuat. aku selalu berkata, pemeran pembantu juga mempunyai karakter kompleks, semua tokoh dalam sebuah cerita mempunyai karakter kompleks, semua karakter mempunyai karakter antagonis. satu kalimat dari percakapan seorang tokoh antagonis dalam sebuah cerita bisa ditemukan beberapa filosofi, gaya bahasa dan moral yang diambil, dan diambil arti dan maknanya dari intonasi pengucapan yang berbeda-beda. Bukan hanya karakter protagonis n karakter utama saja kita bisa mengambil contoh.

Sekarang ini, apa yang aku perdebatkan di depan kelas, seakan bermunculan dalam kehidupanku, rasa yang aku terima seakan sebuah pesan bahwa apa yang aku coba bicarakan dalam sebuah cerita tidak nyata adalah nyata adanya.

Semua itu hanya membuatku terdiam, termangu.. apakah benar seperti ini adanya? Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya tersenyum untuk diri sendiri dan berkata, ini benar adanya. Teori kamu benar. Ini adalah pesan yang disampaikan yang di atas dan bukanlah guruan yang membuatku benar-benar tertawa. Aku tersenyum

Semua yang ada, semua yang ada terambil dengan paksa ataupun tidak. Semua rasa, terasakan olehku.

Dulu, begitu seringnya aku mengucapkan kata dan perasaanku ke seseorang, setiap sentuhan dikulit, setiap tatapan mata, setiap bau dia yang tercium, begitu merasuk ke diriku, seakan dia adalah bagian dari diriku, separuh dari nyawaku. Detak jantungnya adalah jantungku, alur nafasnya adalah nafasku.

Begitu akunya dia ke diriku.

Dan ketika nafas dan jantung dia beralih ke orang lain, seakan aku tidak sadarkan diri. Aku mencoba untuk tersadar untuk menyadari bahwa  ini adalah nyata, semakin aku terjatuh jauh kedalam lubang tanpa batas, tidak ada pegangan ataupun sesuatu yang membuatku sadar. Hanya ada aku dan the abyss. Semakin aku mencoba bicara, yang ada adalah diamnya. ketika aku mencoba untuk mencari suatu kebenaran dari dia untuk menyadarkanku yang yang ada adalah penolakannya. Dan ketika aku mencoba untuk keluar dari abyss, tidak ada apa-apa disana, tidak ada dia, tidak ada tali yang bisa aku naik ke atas, keluar dari abyss itu. Aku kehilangann kendali atas diriku sendiri. Sebuah kenyataan yang harus aku telan utuh tanpa sempat aku kunyah. Aku tersenyum. sakit. Tidak ada kata perpisahan untuk mengakhiri sebuah perjalanan. Tiba-tiba peranku dalam cerita ini berubah.

Suatu hari, kita ditempatkan pada suatu percakapan tentang dia dengan dia yang telah mengambil alih jantungku. Aku tersenyum ditempatkan pada situasi ini.

Dia berkata, “kenapa dia membedakan sayang dia ke aku?”

Aku melihat ke mata dia yang ingin mencari jawabannya ke aku, agar aku mengatakan sesuatu yang membuatnya lega, apapun itu, tentang dianya dia.

Aku tersenyum dan balik bertanya, “kenapa kamu membedakan sayangmu ke dia dan aku?”

Raut mukanya berubah, seakan dia sadar dengan siapa dia bicara tentang hal ini, seakan berkata “seharusnya aku tidak menanyakan hal ini ke kamu”

Tapi karena peranku sudah berbeda dalam ceritanya, itu yang dia rasa dan tempatkan aku. Dengan sadar ataupun tidak, dia berkata, “karena konteks kita sudah beda”

“Ya. Peranku sudah beda ya?” aku bicara dalam hati. memandangnya tersenyum lagi.

Waktu menempatkan aku untuk berjalan dan berjalan meski tertatih-tatih. Dan aku bertemu dengan seseorang lagi. Waktu itu, kekosongan dan ada ruang untuk di isi adalah kepakatan yang kita ambil.

Aku rasa, masa lalu yang terlalu banyak aku bicara tentang rasa membuatku diam tidak berucap banyak kata dalam menyampaikan rasa. Kebalikan dari dia yang ingin aku mengucapkan banyak kata. Banyak kata dan banyak hal. Keinginan dia agar aku berucap seperti beribu-ribu gelembung udara yang menghantam aku, aku sesak. Aku membutuhkan udara untuk bernafas tapi tidak seperti ini.

Biarkan aku melangkah dan berjalan disisimu seperti aku adanya. Jangan kau jejali aku dengan berbagai kesepakatan demi kesepakatan yang semakin aku berat melangkah. Semakin aku berat melangkah karena beban itu muncul, semakin dia merasa kurang lengkap dari yang ada. Aku sudah pernah berjalan dan terjatuh ke dalam abyss, tidak akan aku mengulangi keadaan dan situasi untuk berada disana lagi. Bagi dia, tembok yang terbentuk dalam diriku adalah sekedar tembok yang harus di robohkan, apapun itu. Benteng itu harus dihilangkan. Aku tidak sepakat dengan hal-hal yang banyak aku tidak sepakat dengan dia.

Aku tahu, banyak hal yang salah dan seharusnya aku tidak membangun tembok itu,atau benteng itu. Aku hanya terdiam dan tersenyum.

Sekarang aku berdiri disini, aku tidak tahu dimana aku berdiri.
dimana aku berdiri sekarang ini?
kali ini cerita apa yang harus aku jalani dan ikuti alurnya?
apakah aku harus melihat dan merasakan semua cerita yang datang di jalurku?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu muncul lagi seiring dengan sms dari dia yang masuk dan aku membacanya dengan hati-hati.

“aku ingin kamu tahu, kalo aku sekarang dekat dengan dia”

“dekat gimana?, seperti aku dekat dengan dia? dia figur seorang kakak?”

“ehmm..bisa dikatakan lebih dekat lagi, dekat banget” intonasi yang aku tangkap dari kata-kata ini adalah sangat datar, begitu dingin dan cepat. Itulah aku, terlalu menangkap apa yang tidak perlu aku rasakan. Bahkan sebuah kalimatpun akan terbaca intonasinya.

“apa kalian sudah jadian?”

“apa parameter dari jadian?” dia balik bertanya

“kalian lebih dari dekat, apa kalian saling menyayangi dan mencintai? apakah itu sebuah parameter?” pertanyaanku yang aku jawab sendiri, yang seharusnya tidak aku jawab, seharusnya dia yang menjawabnya.

“kurasa, kamu sudah tau jawabannya dan menjawabnya” suatu hari ketika dia menjawab pertanyaanku lagi.

“yang aku ingin dari kamu adalah pernyataan sederhana, iya apa tidak?’

“iya”

“kenapa dia tidak mengatakan hal itu kepadaku?’

“mungkin dia tidak ingin menyakiti perasaanmu”

Aku tersenyum. Memang benar. Semua benar.terlalu banyak hal yang tidak bisa dan tidak boleh terucapkan. Untuk kebaikan bersama. Untuk tidak boleh egois dan menuntut siapa aku, dia dan dia. Sebagai apa, dulu ataupun sekarang. Seharusnya bagaimana atau sebaiknya gimana. Itu semua adalah teori.

Dan kenyataannya adalah apa yang tidak mungkin kelihatannya, adalah hal yang mungkin.
Dan alur cerita akan tetap berjalan, dijalurku dan jalur siapa saja. Tidak akan ada yang tahu dipersimpangan mana kita akan bertemu dengan siapa dan terjadi percakapan yang selalu bermakna, apapun itu.

Apapun itu.  

Comments

Popular Posts