Pagi ini


 Pagi ini, Reeta menyelusuri jalan lengang, matahari belum menampakkan wajahnya, hanya dingin udara yanng menyapa dan deringan telpon genggam yang berbunyi di dalam sakunya, dia menepikan motor dan melihat di layar telpon, tampak sebuah tulisan si penelepon, ibu.
“assalamu’alaikum.. ya bu?”
“wa’alaikumsalam.. ehhmm nduk, Reet..? kamu jadi apa tidak mampir ke sini kalo kamu lembur kerja sekarang?” suara seorang ibu tengah baya, dengan nada sedikit gugup dan mengharap kedatangannya.
“inggih bu, kulo mantun niki kajenge mriko, sak niki ndugi perjalanan” dengan bahasa campuran antara bahasa jawa dan bahasa indonesia Reeta menjawab.
“owh yo.. aku tunggu yo nduk..” balas wanita tengah baya itu, dengan nada gembira yang di tahannya.
“jangan lewat jalan raya yang depan, ada kerja bhakti desa, lewat yang belakang aja ya, dekatnya masjid” tambah wanita itu
“inggih bu”
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumsalam”

Kembali Reeta menyalakan motornya dan melanjutkkan perjalanan, banyak hal di kepalanya yang datang silih berganti, semua hal yang ada dalam hidupnya, semua rasa yang dia rasakan. Dia mencoba untuk menghadapi rasa sakit itu dan waktu yang membekukannya di masa lalu. Dia mencoba untuk berbicara dengan masa lalu.
Reeta memperlambat laju motornya ketika memasuki gang kecil yang hanya muat dengan satu motor saja. Di ujung gang, tampak seorang wanita paruh baya melongokkan kepalanya dan melihat kearahnya, tersenyum dan berkata,
“sudah sampai ya”
Reeta tersenyum meski rasa campur aduk jadi satu ketika melihat hal itu. Betapa sangat besar cinta dan sayang  yang keluar di aura wanita itu. Apakah beliau selalu melongokkan wajahnya ke dalam gang sempit ini ketika beliau mendengar suara motor yang berbelok menuju rumahnya? Sudah berapa lama beliau menunggu didepan terasnya?
Ibu itu langsung memeluk Reeta dan menciumi pipi dan dahinya. Memandangnya dengan rasa sayang. Reeta mencium punggung tangan ibunya dan tersenyum.
“ayo masuk nduk, tadi ibu baru selesai masak makanan kesukaanmu, pepes ikan pedho sambal pencit, pepes ikan kething dan sayuran”  sambil berkata, bergegas dia menggandeng tangan Reeta masuk kedalam.

Masakan kesukaan Reeta, pepes ikan kething, ikan yang biasa hidup di air tawar bentuknya seperti ikan lele dan ikan gabus, tapi ukurannya sangat kecil dan sekarang sudah sangat jarang ditemui, tergusur oleh ikan gurame dan ikan nila, darimana ibunya bisa mendapatkan ikan jenis itu sekarang ini? Dia ingat, ketika dia masih kecil, biasa bermain di tambak belakang rumahnya, bermain dengan air dan lumpur. Tambak milik ibunya yang di isi dengan ikan tombro dan ikan bader, tiap pagi dia dengan bapaknya, memberi makan ikan-ikan dengan dedek (sekam padi yang dihaluskan) dicampur dengan pur dan dikasih es, sehingga mudah untuk di kepalkan. Dan ikan kething selalu ada hidup liar di tambak tambak, rasanya gurih ketika di pepes. Jenis ikan yang hanya bisa dipepes daripada di goreng. Ingatan – ingatan itu sedikit demi sedikit mulai masuk di alam pikiran nyatanya, yang selama ini dibekukan.
Reeta mencoba untuk meredam semua rasa, semua rasa seakan menumpuk jadi satu dan begitu juga rasa yang dia terima dari ibunya. Rasa sayang dan cinta itu sangat meluap dan meluap, seakan mau meledakkan dadanya. Begitu banyak rasa yang dia terima, sejauh ini dia masih bertahan dan sadarkan diri.
“tiek, ini lho Reeta sudah datang” suara ibunya membawa dia kembali kedalam dunia nyata. Memanggil tantenya yang nomer dua dari bawah, saudara ibunya ada 12 orang, jumlah yang banyak. Seperti orang jaman dahulu yang bilang, banyak anak banyak rejeki. Dari 12 sodara, hanya 2 yang laki – laki. Masa kecil ibu, banyak dihabiskan di daerah jawa tengah. Dulu, beliau suka bercerita kalo dia tidak kerasan tinggal di jawa tengah bersama bude – budenya, karena tiap habis sore menjelang maghrib, pintu gerbang perkampungan tempat beliau tinggal selalu di tutup, sehingga dia tidak bisa bermain dengan anak –anak kampung bawah. Waktu itu aku heran mendengar cerita ibu, kenapa seperti itu? Baru aku menyadari kalo ibu tinggal di keputran, daerah khusus bagi keluarga keraton di Rembang. Aku tidak mempertanyakan lebih jauh lagi waktu itu, karena ada sesuatu yang disembunyikan dari cerita ibu. Kenapa tidak ada saudara dari Rembang yang pernah kita temui? Kenapa kita tidak pernah kesana? Kenapa ada sesuatu yang hilang dari piksel – piksel cerita ibu di waktu kecil beliau bercerita tentang sesuatu yang berbau Rembang?
Hingga suatu ketika, piksel – piksel yang hilang itu sedikit demi sedikit terkuak dari beberapa cerita yang masuk meski hanya ada beberapa kecil bagian saja. Suatu ketika, ibu bercerita kalo kakek adalah pedagang ulung, pada masa mudanya, kakek suka sekali bepergian keluar negeri untuk menjual hasil karyanya berupa perhiasan emas yang beliau buat sendiri dengan ukiran khas Rembang. Kenapa beliau berkelana begitu jauh? Kenapa beliau tidak berada di Rembang, tempat keluarga beliau berada?
“kakekmu dijodohkan oleh keluarganya, tapi beliau tidak mau, akhirnya beliau melalang buana dan menikahi perempuan pilihannya dan dari “kalangan biasa”.

Tantenya keluar dari dapur dan tersenyum menyapanya, wajahnya tidak berubah, hanya lebih gemuk dan krutan-kerutan di dahi sudah ada. Tapi logatnya ketika dia berbicara tidak berubah selama bertahun – tahun Reeta tidak bertemu dengannya.
Bertiga mereka duduk di ruang makan, makanan sudah siap di meja dan mereka makan bersama, semua makanan – makanan itu, seakan dibawa dari masa lalu, bertahun – tahun yang lalu dan masih segar di mulut dan ingatan. Setiap suapan yang masuk di mulut, setiap rasa ingatan masa lalu menerpa hatinya. Seperti angin yang selalu menerpa wajahnya ketika dia duduk sendiri di tepi tambak, melihat permukaan air yang bergelombang teratur ketika angin berjalan di permukaannya. Seperti daun – daun pohon oak di pinggir pematang yang saling bertepukan tangan ketika angin lewat diantarannya, menimbulkan gemerisik yang ramai. Mereka bercerita tentang sesuatu yang jauh, sesuatu yang asing dan sangat dekat di hati. Itulah mengapa Reeta selalu senang berada di alam kecil belakang rumahnya. Mereka selalu bercerita banyak tentang hal – hal yang mereka lewati. Terutama angin, yang selalu berkelana jauh ke berbagai tempat dan kembali ke tmabk dan hutan kecil itu, hanya untuk bercerita tentang apa yang di temuinya. Masa kecil Reeta dihabiskan lebih banyak berada di belakang rumahnya, di hutan kecil dan beberapa tambak yang banyak terdapat kehidupan disana.

“nduk, dihabiskan makanannya, nambah lagi ya, pepesnya masih banyak” suara ibunya kembali membawanya ke masa sekarang.
“inggih bu”
“kamu ingat ga nduk? Waktu kecil kamu itu nakal banget, ada kejadian lucu yang selalu terjadi, waktu kamu menangis, dan aku lagi mencari – cari kaos kakiku untuk berangkat kerja, aku bicara sendiri, “kemana ya kaos kakiku?” dan kamu berhenti dari menangis hanya untuk bilang,”aku tadi liat kaos kaki tante disana lho, dibawah meja” sambil menunjuk ke tempat dimana kaos kakiku tergeletak, dan setelah bicara, kamu melanjutkan lagi nangismu, hahaha” tanteku tertawa renyah mengingat peristiwa itu. Aku juga tertawa sambil mengingat-ingat kejadian itu. Suatu hal konyol yang biasanya dilakukan oleh anak kecil. Dan itu sangat lucu sekali, tapi aku masih sangat sulit mengingat bagian itu.
Makan pagi itu sudah selesai, Reeta mengumpulkan piring – piring bekas tempat makan bertiga dan mencucinya di dapur. Ibu dan tantenya duduk – duduk di ruang tamu dan Reeta menyusul mereka duduk.

Kalo dipikir, terlalu banyak rumah dan ruang yang ada, dan hanya beberapa bagian ruang di salah satu rumah saja yang terisi dengan kenangan – kenangan. Lainnya hanya ruang – ruang kosong saja.
Reeta menghela nafas, menepis pikiran – pikiran yang mulai menggoyahkan konsentrasinya.
Waktu menunjukkan pukul 10.30, dia akan meneruskan kegiatannya. Hari ini adalah hari yang sangat berharga dan tidak tergantikan dengan beribu – ribu hari di masa lalu. Semua tampak terasa sangat indah dalam sudut pandang dia.
“hati – hati ya nduk?’ suara ibunya menyeruak lagi kedalam alam nyata.
Sekali lagi, beliau memeluk Reeta, menciumi pipinya dan dahinya. Seakan tidak pernah habis dan berhenti untuk mendekapnya.
Reeta mencium tapak tangan ibunya, kemudian dengan pelan tapi pasti, dia menjalankan motornya, menembus kabut yang sedikit demi sedikit menipis dalam pikirannya. Tergantikan oleh beribu –ribu kenangan masuk dalam frame ingatannya.
Berikan aku beribu – ribu bahkan berjuta- juta lagi untukku ibu. Aku siap untuk menampungnya.

Minggu. 12.12.2010

Comments

Popular Posts